Selama 3,5 tahun saya menjadi reporter olahraga. Tidak terhitung lokasi liputan yang sudah saya sambangi. Mulai dari basket yang indoor, tenis yang semi outdoor, sampai reli yang outdoor.
Namun dari sekian banyak lokasi liputan, salah satu paling berkesan mungkin liputan ke Sirkuit Sepang.
Liputan ke Sepang sangat berkesan karena menjadi tugas keluar negeri pertama saya. Sirkuit yang kering dan panasnya minta ampun. Namun terlepas dari panasnya, saya menjadi saksi sebuah penyelenggaraan event olahraga yang profesional dan tertata dengan apik. Bikin ngiri seandainya hal sama terjadi di Indonesia.
Tulisan di bawah ini di-publish tanggal20 Mar 2006 di detiksport. Nulisnya cukup penuh perjuangan karena saya ngetik di warnet yang sempat mati lampu.
Catatan Detiksport dari Sepang: Mari Belajar dari Malaysia
Meliyanti Setyorini detiksport
Sepang Indonesia punya potensi menyelenggarakan Formula 1. Tetapi pemerintah tidak melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang patut diperjuangkan. Harusnya Indonesia belajar dari Malaysia. Potensi terbaik yang dimiliki bangsa ini adalah para fans olahraga otomotif.
Ketika saya meliput A1GP di Sirkuit Sentul beberapa waktu lalu, saya ingat Sean McIntosh pernah memuji antusiasme penonton Indonesia. Saya tidak pernah melihat seorang pembalap mendapatkan dukungan seperti yang diperoleh Ananda Mikola. Itu luar biasa, kata pembalap Australia yang menjadi juara di Sentul waktu itu.
Omongan McIntosh memang bukan basa-basi. Lihatlah antusiasme publik saat A1GP digelar. Penonton yang akan menyaksikan race pukul 15.00 sudah memacetkan jalan sejak pukul 09.00 pagi. Bahkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono terkena imbas macetnya ketika hendak membuka event internasional tersebut sehingga harus turun dari mobil dan berganti naik sepeda motor.
Potensi kedua yang dimiliki adalah Sirkuit Sentul itu sendiri. Sirkuit kebanggaan Indonesia itu sudah memiliki lisensi grade 2 dari FIA. Artinya, tinggal memperbaiki beberapa bagian sirkuit ini akan mendapatkan lisensi grade 1, yang artinya siap menggelar F1. Berdasarkan wawancara dengan beberapa pembalap A1 yang menjajal sirkuit ini ketika digelar A1GP Indonesia, mereka pun mengaku terkesan dengan Sentul. Karakternya yang cepat disebut para pembalap sangat menantang.
Kedua potensi tersebut memang belum cukup untuk membuat Sentul pantas menggelar F1. Tetapi itu sudah menjadi dasar yang bisa dikembangkan. Untuk itu Sentul harus belajar dari Sepang. Sebagai sebuah event F1 di Sepang sangat diperhatikan oleh pemerintah Malaysia.
Dari obrolan dengan teman-teman yang saya temui di Sepang, kami sepakat kalau Malaysia sangat serius menyambut F1. Asumsi kami, mereka membuat para penonton F1 terpaksa menginap satu malam di Malaysia karena tidak ada penerbangan ke luar Malaysia pada race day. Padahal di akhir pekan biasa itu tidak pernah terjadi. Luar biasa bukan?
Selain itu sudah tentu pemerintah Malaysia mengucurkan dana tidak sedikit untuk mempromosikan event ini. Sebab gelaran ini sifatnya global hingga persoalan dana sangat berperan. Padahal jika sponsor tertarik menanam investasi, event ini berpotensi mendatangkan keuntungan yang besar. Bayangkan devisa yang datang dari turis-turis mancanegara.
Dari pengamatan saya, di Sepang sebagian besar penonton adalah turis asing. Orang lokal Malaysia sangat sedikit dibandingkan lautan orang bule yang ada di sana. Bahkan turis asal Indonesia terlihat lebih banyak dibandingkan orang lokal Malaysia. Padahal untuk datang ke Malaysia orang-orang Indonesia ini perlu mengeluarkan dana jutaan rupiah. Bayangkan jika F1 hadir di Sentul. Mereka tidak perlu mengeluarkan dana jutaan, dan sebaliknya, negara bisa memperoleh income yang pastinya lumayan.
Mengingat belum terpenuhinya prasyarat minimal itu, Indonesia tampaknya masih harus banyak berbenah, dan itu mesti dimulai dari sarana dan prasarana. Di sirkuit Sentul, misalnya, salah satu poin minus adalah soal fasilitas parkir. Untuk menampung sekitar 50 ribu pengunjung, lahan parkir Sentul sangat tidak memadai. Dibandingkan Sepang, Sentul jelas kalah jauh. Di Sepang, tersedia empat area parkir seluas lapangan bola. Oleh karena itu pengunjung tidak perlu takut kehabisan parkiran. Ini berbeda dengan Sentul yang setiap ada event, penontonnya selalu memacetkan jalan tol karena parkir di pinggir jalan yang katanya bebas hambatan itu.
Hal lain perlu dibenahi adalah sumber daya manusia. Di Sepang saya sempat bertemu seorang turis asal Inggris yang mengaku terkesan dengan profesionalisme penyelenggara F1 GP Malaysia. Orang-orang di sini sangat profesional. Tapi mereka ramah, termasuk orang-orang yang menjual barang itu. Kalau di Inggris mereka suka memaksa, sementara di sini tidak demikian. Mereka sangat ramah dan kalaupun ditolak mereka malah tersenyum, kata Stuart Webb.
Tertarik belajar dari Malaysia? (a2s)